JAKARTA – Mata Murnawati berkaca-kaca menahan tangis. Walau sudah tiga tahun peristiwa itu berlalu, masih terlekat jelas bagaimana Oka, putrinya, kehilangan nyawa. Barangkali hati ibu setengah baya ini tak terlalu perih kalau kematian Oka normal-normal saja. Namun nyawa Oka melayang dalam usia begitu muda, 5,5 tahun, justru karena tindakan malpraktek dokter.
”Tiga orang dokter di sebuah rumah sakit anak terkemuka di Jakarta terlibat dalam malpraktek yang membuat anak saya meninggal. Padahal rumah sakit tersebut sudah menjadi langganan keluarga saya selama sepuluh tahun,” ungkap Murnawati kepada pers dalam acara peluncuran buku Sang Dokter di Jakarta baru-baru ini.
Oka yang demam disertai muntah-muntah selama satu malam tidak mendapat perawatan apa pun dari dokter di rumah sakit. Padahal Murnawati tidak kurang ”rewel” memohon agar dokter segera menangani putrinya.
”Dokter pertama hanya menuliskan resep tanpa menyentuh putri saya. Dokter kedua justru menegur saya yang tidak memberi minum, padahal anak saya selalu muntah tiap kali disuapi sesuatu. Dan dokter ketiga lagi-lagi cuma menjanjikan akan memberi resep, menyentuh anak saya pun tidak,” ujar perempuan ini dengan nada terisak. Baru setelah anaknya menghembuskan nafas terakhir, seluruh tim medis berdatangan.
Murnawati tidak diam saja terhadap peristiwa ini. Ia menghadap direktur rumah sakit dan mengadukan semuanya. Sang direktur berjanji akan menindak tegas dokter-dokternya. Tapi hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, ketiga dokter tersebut tetap bebas merdeka berpraktek di rumah sakit yang sama.
Ibu tiga anak ini tak patah semangat. Ia bahkan berani mengadu ke Menteri Kesehatan (Menkes) saat itu, Dr.FA. Moeloek. Namun sampai era Menkes saat ini, Ahmad Sujudi, kerja keras Murnawati belum mendapat titik cerah. Sekarang ibu ini tengah menunggu proses tuntutan terhadap ketiga dokter tersebut melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ia tak tergoda dengan tawaran uang ganti rugi sebesar Rp10 juta dari rumah sakit. Tuntutan ganti rugi yang diajukannya Rp 1,5 miliar, tanpa bergeming sepeser pun.
Murnawati hanya salah satu dari warga masyarakat yang dirugikan oleh kesalahan ahli medis berprofesi dokter. Menurut Dr. Hendrawan Nadesul, dokter sekaligus kolomnis pemerhati masalah sosial, antara dokter dengan pasien ada satu jurang yang luar biasa dalam.
”Dari hari ke hari, dokter menjadi tambah pintar berkat makin banyaknya kasus dan pergaulan sesama dokter. Tapi di sisi lain pasien tak pernah bertambah pintar. Mereka adalah orang awam yang polos, lugu dan pasrah pada apa kata dokter,” papar Hendrawan yang banyak mengasuh rubrik konsultasi kesehatan di media massa ini.
Ibarat kata, kalau ada pertandingan antara tim dokter melawan tim pasien maka selamanya tim pasien tidak akan pernah bisa menang melawan. Kondisi memprihatinkan macam inilah yang kerap terjadi di Indonesia.
Memang tidak semua dokter berlaku sewenang-wenang terhadap pasien. Semua kembali pada tipe dokter macam apakah ia. Dr. Bahar Azwar, penulis buku Sang Dokter mengategorikan dokter di Indonesia ke dalam empat tipe.
”Pertama adalah dokter dengan jurus ”angin puyuh”, yakni terdapat di banyak klinik swasta. Rata-rata pasiennya 40-50 orang per hari. Ia buka praktik dari pukul 16.00 sampai pukul 22.00. Dikurangi waktu untuk acara makan ringan, sembahyang, berarti ia memberi waktu enam menit per pasien,” papar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Siaga Raya, Jakarta ini pada kesempatan serupa.
Tipe kedua adalah dokter ”ban berjalan”. Bahar memberi contoh dokter kebidanan di sebuah rumah sakit swasta dengan pasien rata-rata 30 orang, sedangkan jam praktiknya hanya dua jam. Para pasien akan disuruh antri di beberapa tempat tidur sekaligus. Saat memeriksa tempat tidur pertama, pasien lain disuruh membuka baju, begitu seterusnya. Mirip dengan tipe ”angin puyuh”, dokter jenis ini harus cepat bertindak dan menekankan efisiensi.
Dokter ”memukul angin” adalah tipe ketiga. Di sini terjadi di mana sekali periksa, seorang dokter langsung memutuskan agar pasien dioperasi tanpa banyak perundingan dengan pasien atau keluarganya. Dan tipe terakhir adalah yang jarang ditemui di kota besar, yakni dokter ”amanah”. Biasanya dokter ini ada di desa-desa terpencil, di mana pasiennya tidak bisa membayar dengan uang nominal.
(SH/merry magdalena)
Referensi: http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2002/093/kes4.html
”Tiga orang dokter di sebuah rumah sakit anak terkemuka di Jakarta terlibat dalam malpraktek yang membuat anak saya meninggal. Padahal rumah sakit tersebut sudah menjadi langganan keluarga saya selama sepuluh tahun,” ungkap Murnawati kepada pers dalam acara peluncuran buku Sang Dokter di Jakarta baru-baru ini.
Oka yang demam disertai muntah-muntah selama satu malam tidak mendapat perawatan apa pun dari dokter di rumah sakit. Padahal Murnawati tidak kurang ”rewel” memohon agar dokter segera menangani putrinya.
”Dokter pertama hanya menuliskan resep tanpa menyentuh putri saya. Dokter kedua justru menegur saya yang tidak memberi minum, padahal anak saya selalu muntah tiap kali disuapi sesuatu. Dan dokter ketiga lagi-lagi cuma menjanjikan akan memberi resep, menyentuh anak saya pun tidak,” ujar perempuan ini dengan nada terisak. Baru setelah anaknya menghembuskan nafas terakhir, seluruh tim medis berdatangan.
Murnawati tidak diam saja terhadap peristiwa ini. Ia menghadap direktur rumah sakit dan mengadukan semuanya. Sang direktur berjanji akan menindak tegas dokter-dokternya. Tapi hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, ketiga dokter tersebut tetap bebas merdeka berpraktek di rumah sakit yang sama.
Ibu tiga anak ini tak patah semangat. Ia bahkan berani mengadu ke Menteri Kesehatan (Menkes) saat itu, Dr.FA. Moeloek. Namun sampai era Menkes saat ini, Ahmad Sujudi, kerja keras Murnawati belum mendapat titik cerah. Sekarang ibu ini tengah menunggu proses tuntutan terhadap ketiga dokter tersebut melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ia tak tergoda dengan tawaran uang ganti rugi sebesar Rp10 juta dari rumah sakit. Tuntutan ganti rugi yang diajukannya Rp 1,5 miliar, tanpa bergeming sepeser pun.
Murnawati hanya salah satu dari warga masyarakat yang dirugikan oleh kesalahan ahli medis berprofesi dokter. Menurut Dr. Hendrawan Nadesul, dokter sekaligus kolomnis pemerhati masalah sosial, antara dokter dengan pasien ada satu jurang yang luar biasa dalam.
”Dari hari ke hari, dokter menjadi tambah pintar berkat makin banyaknya kasus dan pergaulan sesama dokter. Tapi di sisi lain pasien tak pernah bertambah pintar. Mereka adalah orang awam yang polos, lugu dan pasrah pada apa kata dokter,” papar Hendrawan yang banyak mengasuh rubrik konsultasi kesehatan di media massa ini.
Ibarat kata, kalau ada pertandingan antara tim dokter melawan tim pasien maka selamanya tim pasien tidak akan pernah bisa menang melawan. Kondisi memprihatinkan macam inilah yang kerap terjadi di Indonesia.
Memang tidak semua dokter berlaku sewenang-wenang terhadap pasien. Semua kembali pada tipe dokter macam apakah ia. Dr. Bahar Azwar, penulis buku Sang Dokter mengategorikan dokter di Indonesia ke dalam empat tipe.
”Pertama adalah dokter dengan jurus ”angin puyuh”, yakni terdapat di banyak klinik swasta. Rata-rata pasiennya 40-50 orang per hari. Ia buka praktik dari pukul 16.00 sampai pukul 22.00. Dikurangi waktu untuk acara makan ringan, sembahyang, berarti ia memberi waktu enam menit per pasien,” papar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Siaga Raya, Jakarta ini pada kesempatan serupa.
Tipe kedua adalah dokter ”ban berjalan”. Bahar memberi contoh dokter kebidanan di sebuah rumah sakit swasta dengan pasien rata-rata 30 orang, sedangkan jam praktiknya hanya dua jam. Para pasien akan disuruh antri di beberapa tempat tidur sekaligus. Saat memeriksa tempat tidur pertama, pasien lain disuruh membuka baju, begitu seterusnya. Mirip dengan tipe ”angin puyuh”, dokter jenis ini harus cepat bertindak dan menekankan efisiensi.
Dokter ”memukul angin” adalah tipe ketiga. Di sini terjadi di mana sekali periksa, seorang dokter langsung memutuskan agar pasien dioperasi tanpa banyak perundingan dengan pasien atau keluarganya. Dan tipe terakhir adalah yang jarang ditemui di kota besar, yakni dokter ”amanah”. Biasanya dokter ini ada di desa-desa terpencil, di mana pasiennya tidak bisa membayar dengan uang nominal.
(SH/merry magdalena)
Referensi: http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2002/093/kes4.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apakah artikel ini berguna? Apa Pendapat Anda?