Ada fakta menarik tentang perilaku merokok masyarakat kelas bawah kita. Berdasarkan survei Lembaga Demografi FE UI, satu dari dua rumah tangga miskin mengalokasikan 20 persen pendapatannya untuk merokok. Hasil penelitian lain menyebutkan dalam sebulan orang miskin Indonesia membelanjakan uang untuk rokok Rp 117 ribu.
Angka ini lebih besar dari Bantuan Langsung Tunai (BUT) yang cuma sebesar Rp 100 ribu per bulan itu. Agak serupa dengan pengakuan Karel, pengeluaran untuk rokok menduduki prioritas kedua setelah membeli beras. Diduga, BLT yang diterima separuhnya malah digunakan untuk membeli rokok, bukan untuk biaya kesehatan, pendidikan, dan lain-lainnya.
Survei juga menunjukkan, pengeluaran orang miskin untuk rokok 17 kali dibandingkan membeli daging, 15 kali dibandingkan pengeluaran kesehatan, dan 9 kali dibanding pengeluaran pendidikan. Itulah mungkin sebabnya orang miskin susah membiayai pendidikan dan tidak bisa menyantap makanan bergizi gara-gara membeli rokok. Tak hanya menggerogoti paru-paru, rokok juga ternyata membuat orang miskin di Indonesia semakin miskin. Bayangkan, penduduk miskin Indonesia rela menahan lapar demi rokok.
Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMT) menyebutkan, 40 persen perokok di Indonesia berasal dari kelompok berpenghasilan kecil. Fakta-fakta mengerikan ini tidak terlepas dari sangat murahnya harga rokok di Indonesia dibanding negara-negara lain di dunia, sehingga bahkan kelas masyarakat miskin pun bisa membelinya. Hanya dengan 10 ribu rupiah saja, orang Indonesia bisa mendapatkan sebungkus rokok, bahkan bisa membelinya secara batangan dengan harga yang lebih murah.
Selain menggerogoti dompet orang miskin, rokok juga penyebab kematian nomor tiga di Indonesia. Yayasan Kanker Indonesia mencatat, saat ini kanker paru-paru menduduki urutan ketiga setelah kanker serviks dan kanker payudara. Padahal dulu kanker paru-paru menduduki posisi kelima. Diketahui pula sembilan dari 10 dari pengidap kanker paru-paru adalah perokok, dan enam orang di antaranya adalah kalangan tak berpunya. Jadi lengkap sudah segala keterpurukan itu. Sudahlah miskin, tak sehat, mengidap kanker pula.
Perlu usaha keras dari berbagai pihak untuk mengentaskan persoalan ini. Pemerintah harus membuat aturan ketat tentang rokok. Membebani industri rokok dengan pajak tinggi, tetap bukan solusi utama. Melarang orang merokok di tempat umum, ternyata juga belum ampuh untuk menurunkan jumlah perokok. Diperlukan regulasi yang ketat agar perokok baru tidak bertambah. Selain itu, tentu saja diperlukan kekuatan cinta antara sesama-terutama dari anggota keluarga-untuk saling mengingatkan bahwa rokok tidak hanya membahayakan kesehatan, tapi juga mempertebal kemiskinan.
Angka ini lebih besar dari Bantuan Langsung Tunai (BUT) yang cuma sebesar Rp 100 ribu per bulan itu. Agak serupa dengan pengakuan Karel, pengeluaran untuk rokok menduduki prioritas kedua setelah membeli beras. Diduga, BLT yang diterima separuhnya malah digunakan untuk membeli rokok, bukan untuk biaya kesehatan, pendidikan, dan lain-lainnya.
Survei juga menunjukkan, pengeluaran orang miskin untuk rokok 17 kali dibandingkan membeli daging, 15 kali dibandingkan pengeluaran kesehatan, dan 9 kali dibanding pengeluaran pendidikan. Itulah mungkin sebabnya orang miskin susah membiayai pendidikan dan tidak bisa menyantap makanan bergizi gara-gara membeli rokok. Tak hanya menggerogoti paru-paru, rokok juga ternyata membuat orang miskin di Indonesia semakin miskin. Bayangkan, penduduk miskin Indonesia rela menahan lapar demi rokok.
Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMT) menyebutkan, 40 persen perokok di Indonesia berasal dari kelompok berpenghasilan kecil. Fakta-fakta mengerikan ini tidak terlepas dari sangat murahnya harga rokok di Indonesia dibanding negara-negara lain di dunia, sehingga bahkan kelas masyarakat miskin pun bisa membelinya. Hanya dengan 10 ribu rupiah saja, orang Indonesia bisa mendapatkan sebungkus rokok, bahkan bisa membelinya secara batangan dengan harga yang lebih murah.
Selain menggerogoti dompet orang miskin, rokok juga penyebab kematian nomor tiga di Indonesia. Yayasan Kanker Indonesia mencatat, saat ini kanker paru-paru menduduki urutan ketiga setelah kanker serviks dan kanker payudara. Padahal dulu kanker paru-paru menduduki posisi kelima. Diketahui pula sembilan dari 10 dari pengidap kanker paru-paru adalah perokok, dan enam orang di antaranya adalah kalangan tak berpunya. Jadi lengkap sudah segala keterpurukan itu. Sudahlah miskin, tak sehat, mengidap kanker pula.
Perlu usaha keras dari berbagai pihak untuk mengentaskan persoalan ini. Pemerintah harus membuat aturan ketat tentang rokok. Membebani industri rokok dengan pajak tinggi, tetap bukan solusi utama. Melarang orang merokok di tempat umum, ternyata juga belum ampuh untuk menurunkan jumlah perokok. Diperlukan regulasi yang ketat agar perokok baru tidak bertambah. Selain itu, tentu saja diperlukan kekuatan cinta antara sesama-terutama dari anggota keluarga-untuk saling mengingatkan bahwa rokok tidak hanya membahayakan kesehatan, tapi juga mempertebal kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apakah artikel ini berguna? Apa Pendapat Anda?